Kamis, 28 Mei 2009

Membangun Pemikiran Merubah Opini

Pembangunan nasional, demikian jargon yang sudah lama kita kenal, sejak bangsa kita meraih kemerdekaannya 17 Agustus 1945. Hal penting setelah meraih kemerdekaan adalah mempertahankan dan mengisi kemerdekaan itu dengan pembangunan. Setelah sekian lama dijajah secara pisik dan mental, kerusakan mental bangsa sepertinya yang paling berat dialami oleh bangsa kita.

Ketertinggalan dibidang infrastruktur secara pisik dapat dikejar dengan melakukan pembangunan jalan-jalan penghubung antar daerah, membangun jaringan pemerintahan dengan mendirikan gedung-gedung perkantoran di pusat dan daerah serta pembangunan di segala bidang lainnya. Hasilnya seperti yang kita saksikan sekarang ini, bahkan perkembangannya nyaris diluar kendali.

Jalan-jalan menjadi sangat macat dengan jumlah kendaraan yang terus bertambah melebihi pertumbuhan panjang jalan yang harus dibangun. Tingkat polusi dan pencemaran udara di kota besar, termasuk 5 besar kota terkotor tingkat polusinya di dunia, perluasan daerah perkebunan dan pemukiman mengorbankan hutan-hutan tropis kita. Belum lagi yang diakibatkan adanya perencanaan tata ruang yang tidak konsisten secara jangka panjang karena adanya pergantian pemerintahan di pusat dan daerah.

Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya Ya, pasti demikian karena sejak awal pembangunan bangsa tidak tampak memberikan prioritas yang tinggi terhadap pembangunan "pemikiran". Kata "merdeka" sudah telanjur salah ditafsirkan, merdeka hanya diartikan lepas dari jajahan secara militer. Padahal Sang Proklamator Bung Karno telah memberikan isyarat adanya bentuk penjajahan yang baru, beliau menyebutnya dengan neo kolonialisme. Bangsa ini Beliau khawatirkan akan mengalami penjajahan bentuk baru. Penjajahan negara kapitalis terhadap negara-negara miskin dan baru merdeka. Penjajahan secara ekonomi, dengan dalil mengucurkan modal bantuan, padahal pinjaman yang harus dikembalikan (modal berikut bunganya) secara jangka panjang. Mengeksploitasi sumber daya alam berupa barang tambang dan kayu sebagai hasil hutan secara berlebihan, tanpa merencanakan penanaman kembali. Demikian juga ekspoitasi hasil bumi, contoh nyata adalah semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo Jawa Tengah, adalah ekspoitasi tanpa adanya perencanaan matang terhadap pengendalian riko yang mungkin terjadi dan kerusakan yang mungkin timbul akibat suatu kegiatan pengeboran bumi.

Sangat ironis bahwa "kemerdekaan" mengelola bumi oleh suatu badan yang tentu saja atas seizin Departemen Pertambangan RI, bukan memberikan kesejahteraan kepada rakyat yang belum sempat menikmati arti sejati kemerdekaan. Justru menimpakan kemalangan, kemiskinan dan terusirnya penduduk dari kampung kelahirannya.

Jika saja secara moral dan mental, opini bangsa tentang arti "kemerdekaan" tetap sebagai bangsa yang sedang berjuang dan penuh waspada, bangsa dengan opini yang tetap cerdik dan pandai mengantisipasi atas segala kemungkinan dan tetap mengikatkan diri sebagai satu kesatuan, senasib dan seperjuangan dan tetap bahu-membahu saling membela untuk mencapai kesejahteraan bersama. Tentunya tidak akan kita jumpai adanya golongan masyarakat tertentu yang disebut konglomerat, yang kerjanya hanya menumpuk dan menimbun kekayaan material. Kita tidak akan dapatkan kerusakan alam (hutan yang gundul, sungai yang kotor, dan laut yang tercemar) sehingga sering terjadi musibah banjir, tanah longsor dan keracunan makanan karena air sungai dan laut yang telah tercemar. Tidak kita alami kasus lumpur Lapindo yang masih menyemburkan lumpur panas sejak tahun 2006, sehingga penduduk harus terusir karena desa mereka terendam.

Sebagai kalimat penutup, penulis ingin melontarkan sebuah pertanyaan: "Bisakah kita sebagai bangsa memulai kembali pembangunan "pemikiran dan mental Bangsa" untuk mencapai suatu bentuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersatu, peduli terhadap kelestarian sumber daya alam dan hutan, mewariskan sungai-sungai yang jernih airnya dan laut yang bersih (bukan laut untuk pembuangan akhir limbah)? Bisakah kita "membangun pemikiran dan mental" Bangsa ini agar bisa peduli dan dapat memberikan jejak yang baik kepada generasi penerus yang akan menggantikan generasi sekarang ini, berupa jejak kelestarian lingkungan, sungai, hutan dan laut yang bersih sebagai bentuk kesejahteraan dan kedamaian dari suatu kemerdekaan yang sejati?
Bisakah kita membangun "pemikiran" bahwa negeri dan sumber daya alamnya harus secara estafet kita jaga kelestariannya dari generasi ke generasi?
Bisakah?

http://www.formulabisnis.com/?id=luvfizz

1 komentar:

  1. Opini tidak terlepas dari hukum the secret, oleh karena itu untuk mencapai suatu pertumbuhan mental dan physic yang positif maka kita harus membangun opini yang positif!
    Selalu optimis, bersemangat dan memiliki cita-cita yang tinggi untuk mengabdikan diri demi kemajuan negeri ini, hendaknya hal ini yang harus kita bentuk sebagai opini publik.
    Jika kita memiliki opini baik, hasilnya akan baik (the secret law)
    coba lihat http://www.formulabisnis.com/?id=luvfizz

    BalasHapus